STANDARDISASI GURU PROFESIONAL DALAM PUSARAN MILLENIAL
STANDARDISASI GURU PROFESIONAL DALAM PUSARAN MILLENIAL
Hesti Fatmawati
Standarisasi Profesional Seorang Guru
Pendidikan di Indonesia memiliki beberapa persoalan yang belum juga ditemukan solusi pemecahannya. Berbagai problematika yang muncul tidak hanya permasalahan mengenai konsep pendidikan, peraturan, kurikulum, atau anggaran saja. namun juga mengenai kemajuan zaman yang tidak berbanding lurus dengan kemajuan guru ketika mengajar di lembaga pendidikan, kemudian diperkuat dengan realita lapangan yang mengungkapkan kekontrasan antara guru dan murid. Murid sedemikian maju dalam iklim digital dengan menggunakan produk kontemporer, sementara guru masih berkutat pada tradisi tekstual yang masih memakai produk 80-an. Akibatnya, terjadi perbedaan cara pandang hingga menimbulkan ketidaknyambungan dalam menyelesaikan persoalan yang dihadapi.
Standarisasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki makna penyesuaian bentuk (ukuran dan kualitas) dengan pedoman standar yang ditetapkan. Standarisasi kerap kali digunakan dan diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk bidang pendidikan. Standardisasi guru dimulai dengan melakukan uji kompetensi awal yang bertujuan sebagai tahap awal seleksi guru yang layak ikut proses sertifikasi dan pemetaan untuk dapat dikatakan sebagai seorang guru yang profesional. Tolak ukur seseorang dikatakan sebagai guru professional yakni harus memiliki 4 kompetensi dalam dirinya, yakni kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional dalam menjalankan tugasnya sebagai guru. Artinya, yang dimaksud dengan guru bukan pintarnya, tetapi lebih kepada kemampuan dalam mentransfer imu kepada murid dari berbagai aspek, yakni aspek akademis, perkembangan pribadi, sosial, dan intelektual.
Menjadi guru professional merupakan salah satu peranan penting demi menciptakan berlangsungnya kegiatan belajar mengajar yang efektif dan menyenangkan di sekolah. Tugas guru tidak cukup hanya dengan menguasai standar kompetensi mata pelajaran yang diampu lalu menyampaikan pembelajaran tersebut, melainkan dituntut pula agar pelajaran yang disampaikan tersebut dapat dipahami murid sehingga sesuai dengan UU No.2 Tahun 2003 tentang tujuan pendidikan nasional. Pendidikan di Indonesia dituntut mampu menghasilkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang tidak hanya mampu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi saja, melainkan juga harus berkarakter dan berakhlak mulia. Kemudian ditegaskan dalam Undang- Undang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) Nomor 20 tahun 2003 tentang fungsi dan tujuan pendidikan nasional, yakni: mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan tanggung jawab.2 Sehubungan dengan hal tersebut, pendidikan nasional juga memiliki visi terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga siap dan mampu menjawab tantangan zaman yang selalu berubah”. Arah pembangunan yang meletakkan pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) sebagai prioritas menjadikan kedudukan guru semakin strategis dalam menyiapkan SDM yang berkualitas guna menghadapi pusaran generasi milenial. Guru sebagai pendidik bukan perihal profesi atau pekerjaan semata, yang sering diartikan sebagai profesi istimewa, dimana mereka bekerja untuk dibayar dan selesai. Tidak hanya itu, guru juga dianggap sebagai sosok yang serba tahu dan serba bisa sehingga tidak banyak orang tua yang menuntut agar anaknya menjadi pandai sebagimana yang diharapkan. Hal tersebut menimbulkan salah kaprah pandangan masyarakat hingga menimbulkan stigma yang keliru dan perlu dibenahi. pada dasarnya, profesi seorang pendidik adalah sebuah misi, pengabdian, bahkan sebuah ibadah yang memiliki nilai (value) lebih mulia jika dibandingkan dengan jabatan atau profesi lainnya.
Tantangan pembelajaran generasi millenial
Tidak bisa dipungkiri seiring dengan perkembangan zaman yang semakin maju, guru harus mampu mengoperasikan dan memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan kualitas proses belajar mengajar pada setiap satuan pendidikan agar mampu mengimbangi pola pikir generasi milenial, yakni generasi yang terlahir antara tahun 1980-2000an yang lahir di dunia modern dan disuguhkan dengan perkembangan teknologi yang semakin canggih. Dengan begitu dunia pendidikan perlahan mengalami disrupsi hebat sehingga peran guru yang awal mulanya hanya bertugas sebagai satu-satunya penyedia ilmu pengetahuan beralih fungsi menjadi seorang mentor, fasilitator, motivator, dan inspirator kepada seluruh murid didiknya. Lambat laun, kehadiran guru di ruang kelas akan semakin menantang sehingga membutuhkan kreativita dan inovasi yang sangat tinggi. Apabila seorang guru jarang atau tidak mampu update informasi yang dipicu oleh keterbatasan penguasaan teknologi, sehingga memberikan dampak lambatnya penyebaran informasi.
Fenomena yang terjadi dalam dunia generasi milenial mutlak memerlukan strategi pembelajaran yang berbeda dengan generasi sebelum-sebelumnya. Salah satu ciri gaya belajar generasi milenial yakni tidak suka berlama-lama duduk di ruang kelas hanya sekedar untuk mendengarkan penjelasan guru, mereka adalah generasi yang multi tasking yang bisa mengerjakan beberapa pekerjaan dalam waktu bersamaan sekaligus. Pembelajaran yang monoton dari awal hingga akhir juga menjadi musuh utama semangat belajar karna dinilai sangat membosankan dan membuat jenuh. Hal tersebut menjadi salah satu tantangan seorang guru untuk mampu merangsang kecakapan generasi milenial yang kritis, kreatif, komunikatif, dan kolaboratif dalam proses pembelajaran dan pemecahan masalah sesuai dengan kehidupan nyata. Guru di era digitalisasi teknologi harus melek terhadap perkembangan zaman untuk menjamin peserta didik memiliki keretampilan belajar dalam menggunakan teknologi dan keterampilan dalam mengolah informasi sebagai bekal untuk keterampilan hidup (life skills) kedepannya.
Peran Guru dalam Sudut Pandang Generasi Milenial
Kemajuan dalam belajar dapat disesuaikan dengan kebutuhan tergantung pada ketersediaan akses pengetahuan dan informasi, yang kini dapat diperoleh dengancepat dan mudah. Orientasi baru tersebut memberikan pengaruh positif terhadap kemajuan kreativitas dan daya imajinasimurid. Selain itu, kemampuan berpikir kritis dan analitis murid diharapkan dapat ditingkatkan, misalnya dengan mengasah kemampuan mereka untuk menemukan dan mengidentifikasi berbagai hal secara cepat di dunia maya. Semua ini akhirnya diharapkan dapat meningkatkan daya saing murid itu sendiri. Selanjutnya akan dibahas mengenai beberapa reorientasi baru pembelajaran yang dianggap mempengaruhi visi, tanggung jawab, sensitivitas sosial dan kemampuan logika, serta kejujuran guru. Semua ini bermuara pada reorientasi pada peran baru guru, yaitu sebagai agen perubahan, pembaharuan pengetahuan dan konsultan pembelajaran.
Peran guru dalam pembelajaran yang memusatkan pada pencarian dan penemuan; dahulu pendidikan diartikan sebagai sesuatu yang bersifat satu arah, yang menuntut penyampaian informasi oleh seorang ahli dan pemerolehan pengetahuan yang telah disiapkan oleh murid. Dalam hal ini, seorang guru dianggap sebagai ahli yang mempunyai jawaban untuk setiap pertanyaan, sehingga ia memiliki otoritas penuh. Di sisi lain, seorang siswa selalu dianggap sebagai pelajar pasif, penerima apapun yang diajar oleh guru. Seiring dengan pergantian siklus generasi sehingga dibutuhkan sebuah orientasi baru dalam pendidikan yang menekankan pada konstruksi aktif siswa melalui pencarian berbagai macam informasi serta sumber-sumber lainnya yang berguna untuk kehidupan mereka dalam berbagai situasi. Orientasi baru ini memfokuskan pada kegiatan pembelajaran yang menuntut motivasi diri siswa (self-motivated) dan pengaturan diri sendiri (self-regulated). Hal ini diperlukan dalam rangka konstruksi pengetahuan dan pengalaman yang bisa diterapkan dalam konteks-konteks tertentu yang dihadapi siswa. Untuk memperoleh pengetahuan ini dibutuhkan partisipasi aktif dalam perkembangan pribadi melalui pendidikan interaktif dan aplikasinya, bukan hanya semata menyerap secara pasif pengetahuan yang telah dirancang oleh orang lain.
Berikut adalah beberapa langkah yang bisa diterapkan guru sebagai strategi standardisasi professional untuk menyiapkan kegiatan pembelajaran terhadap generasi milenial:
Aspek Program
Afektif : Memberikan kegiatan pembelajaran yang memusatkan pada kontruksi, pencarian dan penemuan
Kognitif : mengantarkan peserta didik untuk mencapai standar akademis yang diharapkan untuk kehidupan nyata
Psikomotorik : Pembangan diri yang optimal sesuai dengan soft skill dan hard skill
Upaya proses standardisasi guru profesional proses kegiatan pembelajaran generasi milenial yang telah dujelaskan memang dapat diterima dan dibenarkan, namun alangkah baiknya jika tetap memperhatikan fakta lapangan yang ada. Seperti contoh, guru yang sudah lansia atau guru yang berada didaerah primitive yang sulit akses teknologi. Hal tersebut bisa diatasi dengan tetap melihat situasi dan kondisi yang ada yakni mengajar dengan media apa adanya asalnya tidak meninggalkan fungsi utama pembelajaran, yakni mengubah dari yang asalnya tidak tahu menjadi tahu.
Daftar Pustaka
Nurul Afifah. “Problematikan Pendidikan di Indonesia” dalam Jurnal Elementary Vol. 1 Edisi 1 Januari 2015.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. (Jakarta: Departemen Nasional).
Komentar
Posting Komentar